Skip to main content

Tersurat, Untuk dan Tentang Kalian




Dunia bersuara lewat setiap kisah manusia. Tentang yang hilang, bertahan, dan kembali pulang. Tentang perasaan, dialog kalbu, dan potongan rindu. Tentang satu, dua, tiga jiwa, dan selebihnya yang memberi makna. 

Waktu adalah satuan hidup yang lucu. Tidak berupa, namun mampu mengiringi di setiap antara. Penggalan cerita, hembus napas manusia, serta serpihan perasaan. Penentu dari sekelebat, dua abad, maupun yang kini hilang tanpa kasat. 

Kala itu aku kenal sederet nama yang goresan hidupnya bertabrakan dengan milikku yang cacat, terluka, dan tidak sempurna. Rinai air mata, renyah tawa, sejuta ribu emosi bergantian penuhi dada. 

Kali ini tentang manusia-manusia hebat yang di dalam perjalanan meninggalkan kisah singkat. Tentang perih, hagia, tak terlupa sisa luka. Semua yang mampu dituliskan dengan kata, dimulai dengan tentangnya. 

I. 
Tentangnya yang dari pertama terasa seakan tidak terlalu berarti, sampai nyatanya menjadi pengisi hari. Diselimuti malu, perkenalan kaku, mereka dan aku bertahan atas setiap kenangan yang tergambar dengan kesamaan takdir, bergulirnya detik, dan tiap-tiap kejadian menguatkan. Satu hal yang tidak pernah terhapus dari memori adalah awal pertama aku bertukar nama dengan mereka yang memberi arti. Ruang kelas, gerbang sekolah, selasar kampus, mall ternama, cafe yang kini sudah tak ada; sebut saja siapa maka akan ku ceritakan saat pertama aku mengenal mereka yang berawal dari sepotong nama. 
Sampai saat ini belum bisa aku mengerti mengapa, tetapi hal tersebut selalu menjadi satu momen yang aku simpan di belakang ingatan kepala. Mungkin karena dari situ aku mampu mengingat betapa setiap hal bermakna dan mereka yang memberikannya pernah menjadi bukan siapa-siapa. Masa di mana sebuah hubungan antar manusia berawal dari menerka-nerka. Dari mulai siapa, bagaimana, hingga bersama kita menjalani hari-hari ke depannya. 

II. 
Tentangnya yang bertahan atas bahagia yang ditemukan, kenyamanan, serta seribu indah yang mengelabui perasaan. Tentang mengenal lebih dalam, berbagi rasa, dan menemani dalam kesepian. Untuk setiap ruang yang di dalamnya berpuluh waktu kita habiskan, setiap kejutan hidup dan pertengkaran, setiap kata sarat makna yang diucapkan; selalu aku ungkapkan perasaan dalam berlembar-lembar rangkaian tulisan. Mungkin tidak selalu indah dan melulu penuh rasa malu akan miskinnya kemampuan menulisku dalam bahasa ibu, tetapi segalanya adalah seperempat isi kalbu. Sisanya, cukup aku dan pencipta semesta yang tahu. Sebisa mungkin belajar untuk mengkomunikasikan setiap perasaan, masih saja aku membuat terlalu banyak kesalahan. Namun darinya, sebuah inti tergambar: bahwa hidup adalah tak henti-hentinya belajar. Dari, untuk, dan dengan setiap manusia yang mampir di perjalanan panjang kehidupan. 

III. 
Tentangnya yang hilang dan pergi meninggalkan; yang sempat menjadi segalanya; tempat berlabuh segala gundah, penenang gelisah, dan sebuah rumah untuk kembali pulang dari setiap resah. Tentang mereka yang dulu tanpa satu sama lain selalu membuat sakit, hingga kini waktu yang dihabiskan menjadi semakin sedikit. Tentang rentang jarak yang melebar dan emosi yang kian sukar. Tentang peraduan argumen memuakkan dan lelah hati untuk bertahan. Entah karena sulitnya meredam ego yang mendarah atau sesederhana keadaan yang kini berubah. 
Memang terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan yang diawali dengan kenapa, tanpa berakhir menyalahkan siapa-siapa. Karena sesungguhnya aku percaya bahwa tiap-tiap aku, kami, dan mereka tak ubahnya hanya jiwa yang mencoba; untuk mengerti, mengobati, dan menekan mau hati. Tapi apa daya manusia yang tak mampu hidup sendiri tetapi terlalu berat hati untuk mengeliminasi sesuatu, seseorang, dan setiap kejadian perih yang tak lagi bisa dihadapi. 
Aku, kami, mereka terseret gulungan perasaan; terpelintir takdir; terhempas kaku membeku dalam bisu. Untuk segalanya yang terlalu pahit untuk dituliskan dalam kata, kembali aku katakan bahwa berpuluh potong maaf yang terlalu sering diucapkan dulu memang tulus maknanya terlebih lagi ketika kita ada di posisi seperti ini. 

IV. 
Tentangnya, yang ke padanya dalam-dalam aku sampaikan rasa sayang terbalut terima kasih dan suratan maaf; untuk setiap tetes air mata, kata-kata penoreh luka, dan jarak yang dengan sengaja tercipta. Tidak tahu bagaimana mata kalian sekarang memilih untuk melihat keadaan, namun aku sendiri tidak pernah menghapuskan rasa peduli dan tidak jua berhenti menangkiskan rasa benci. Atas semua luka yang meninggalkan sisa, saat ini aku hanya berusaha untuk setidaknya menuruti setiap hal yang diminta; tidak lagi mengejar yang tak ingin diraih, tidak lagi memaksa bertahan demi kenyamanan yang hanya aku rasakan. Percayalah, memilih untuk diam bukan berarti tidak mengusahakan. Tetapi coba tengok kembali berapa banyak kali aku mencoba yang kemudian berbalas pengabaian. Untuk itu aku biarkan kalian, mereka, dan setiap jiwa bahagia dengan hidupnya dan selalu ingat untuk tidak lupa. 

Dengan perih dan ironi aku selalu berada di sini menjalani hari, yang di dalamnya tak henti aku membayangkan segala yang pernah dan menyayangkan semua yang berubah. 

Comments

Popular posts from this blog

Love I Knew

The love I knew was a broken feeling. Ruined fraction of a human being. Shattered into words of self-deprecating and midnight thinking.  The love I met was in a dream. The worst kind of wishful dreaming. With eyes closed and a full running mind, consisted of people whose existence is around but have been far way long gone. I met love only when I let myself to be taken over into the unconscious world. Romanticized by a dead logic and a handful of feelings that is kinda sick.  The love I knew was pain. One-sided, unrequited, red blooded. The kind of pain that makes you want to scream with a tied tongue; the kind of pain when a wingless bird learn to fly.  The love I knew was never wants more. Expecting miracle but swallowing every reality only to be awaken to the utter veracity, that love is not always pretty. It’s a monster ready to devour my entire endeavor.  The love I knew was being on the other line waiting for him to pick up. Consumed wit...

I’m Still The One Who Cry

Out of the misery you paint hard across my wrist The longing of mild distraction blinded the eyes of every butterflies They flew away abruptly tearing up the memory Between long hours of wrapping back my skin and bones Your cold hard fingers felt insignificant Never been enough to pull out goodbyes and left it blunt There you are standing in the crossroad where I left you to die; being effortlessly calm While holding a bottle of my falling tears in the cup of your palm