Skip to main content

Terlanjur Pergi




Payahnya aku dalam menerka baris kata 
Dan menyingkap tanda di balik tiap senyum manusia 
Akan jadi akar dari tumbuhan kesendirian 
yang entah mengapa repot-repot aku terus siram

Mungkin saat itu kamu tepat berada di depan pintu 
Melantun sendu yang kusambut dengan ragu 
Berteman panasnya hari 
dan bisikan jeda yang tak pernah tiba 
Berdiri kita dalam guliran detik 
hingga mati di kaki tak terusik

Ada sesuatu yang tersingkap rasa 
Namun terselabut dengan takut 
Pergi aku berlindung dalam aman 
Hanya untuk menemukanmu kini terduduk di dekat taman 
Membias kecilnya tawa yang diikuti senyuman 
Peluk untuk biruku; hangat untuk dinginnya kalbu

Malam itu aku terbiasa kembali pulang ke luar 
Menghabiskan sisa bulan bersama hadirmu yang kian menyaru 
Kita merayakan kecukupan tanpa apa-apa 
Dan menertawakan serpihan rasa yang kadang menyapa

Sampai suatu waktu kulangkahkan kaki ingin menjumpa 
Dan tidak kutemukan bayanganmu di sana 
Hanya ada langit, terik, dan angin yang berbisik 
Seakan marah atas tanyaku, 
Mereka memaki, mencemooh, menyadarkan sesuatu 
Habis sudah waktu kupakai untuk berteman dengan ragu 
Membiarkanmu sekedar mengetuk dan duduk 
Tanpa pernah berani memperbolehkan kau masuk 

Selepas itu aku kembali berteman dengan kenangan
Akan pintarnya aku dalam melepaskan 
Hingga terlampau banyak yang kulewatkan 
Hadirmu jadi satu yang tak kan pernah kumaafkan 
Kalau saja dan mungkin nanti 
Tak pernah cukup untuk mengganti; 
Terisak aku mendekap sisa bayangmu yang terlanjur pergi

Comments

Popular posts from this blog

A Girl of My Own

I live in layers I, myself, spent my whole life to recognize;