Skip to main content

Setiap Kita Satu Meja




Bisikkan malam menderu keras di telingaku
beriringan dengan lantun tanpa syair
dari sebuah racauan lagu anak kecil yang tidak sedikit pun merdu
Gelap angin teriakkan dua senti helai rambut
di besarnya kepala berbalut wajah familiar
yang dihiasi dua bola mata hitam tajam berlapis geram
Lalu seketika satu dua puluh juta kata bermanja tanpa membiarkan jeda tiba
dan aku tersadar bahwa takutku akan sebuah tatapan intens pun luruh olehmu, sirna
Dalam satu hembus napas aku biaskan indahmu ke masa kelam dan ku lempar hangatnya nyaman ke arah keramaian tak berarti yang mengelilingi
Walau sekeras apa upayaku menata detak yang ku kira sudah retak sejak tahun lalu,
tak jua hilang kemampuanku untuk selalu bisa bertemu dengan bagian dari hatimu
yang kau tutupi kaca bening penuh dengan sirat abu-abu
Walau sekeras apa upayamu untuk menjadi orang yang aku benci selama ini,
tak jua mampu kau berbohong untuk mengakui keruntuhan tembok tinggi
yang bersamanya seraup izin tanpa kata membiarkanku menjadi seorang penghuni

Di antara hentakkan riak air yang melompat dan spasi yang dengan sengaja kita buat
Tergoda tatapku untuk kembali pulang menuju relung jurang mu
Dan aku hampir pingsan penuh sesak serta isak
Karena selama di sepanjang jalan aku berteman dengan ragu,
kedua matamu sudah terpaku menanti dan tak henti menghadap sejak tiga menit aku berlalu;
juluran tanganmu meneriakkan rindu yang susah payah tak sudi mengaku;
dan aliran arus listrik dari derasnya satu kata tanya berisikan apa tak lagi bisa tersaru
Tepat pada lengkung senyum berhiaskan berat suaramu
Terperosok sadarku, terguyur basah,
bahwa kamu adalah
sebenar-benarnya arti rumah

Bayang-bayang kekalahan,
kesalahan,
emosi rendahan
melebur satu-persatu pelahan
Hingga jarak pembatas yang berdiri di antara kita;
hanyalah racunnya bisumu dalam menenggelamkan kata
dan kepiawaianku dalam berlari pergi menjauhi rasa

Sesaat sebelum aku terlanjur kabur,
kau antar dekap hangat di bawah sumpah bulan
tanpa menampikkan getaran
Karenanya binasa sebuah lupa tak tersisa
Mati kita, kepayahan


Comments

Popular posts from this blog

Love I Knew

The love I knew was a broken feeling. Ruined fraction of a human being. Shattered into words of self-deprecating and midnight thinking.  The love I met was in a dream. The worst kind of wishful dreaming. With eyes closed and a full running mind, consisted of people whose existence is around but have been far way long gone. I met love only when I let myself to be taken over into the unconscious world. Romanticized by a dead logic and a handful of feelings that is kinda sick.  The love I knew was pain. One-sided, unrequited, red blooded. The kind of pain that makes you want to scream with a tied tongue; the kind of pain when a wingless bird learn to fly.  The love I knew was never wants more. Expecting miracle but swallowing every reality only to be awaken to the utter veracity, that love is not always pretty. It’s a monster ready to devour my entire endeavor.  The love I knew was being on the other line waiting for him to pick up. Consumed wit...

I’m Still The One Who Cry

Out of the misery you paint hard across my wrist The longing of mild distraction blinded the eyes of every butterflies They flew away abruptly tearing up the memory Between long hours of wrapping back my skin and bones Your cold hard fingers felt insignificant Never been enough to pull out goodbyes and left it blunt There you are standing in the crossroad where I left you to die; being effortlessly calm While holding a bottle of my falling tears in the cup of your palm